Kamis, 12 Agustus 2010

PARAKAN

KYAI RADEN SUMOMIHARDJO, KYAI PARAK BAMBU RUNCING, PARAKAN, TEMANGGUNG

Narasumber:
KH. Raden Muhaeminan Gunardho
(Ulama Sepuh, Jawa Tengah, Pimpinan Pondok Pesantren Kyai Parak, Bambu Runcing, Parakan, Jawa Tengah)

Pada saat penjajah Belanda yang dibantu oleh sekutu ingin kembali menjajah Indonesia, Bupati Temanggung yang bernama Sutikno mengumpulkan para ulama dan tokoh masyarakat. Dihadapan para ulama dan tokoh masyarakat tersebut, beliau berkata bahwa tidak lama lagi Belanda akan kembali untuk menjajah Indonesia karena Jepang telah kalah perang melawan sekutu. Bupati Sutikno berharap kepada para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir agar dapat memberikan jalan keluar terbaik, yaitu apakah Belanda akan mereka terima kembali sebagai bangsa penjajah ataukah Belanda akan dilawan begitu mereka masuk ke Bumi Temanggung. Bupati Sutikno mengingatkan para hadirin dihadapannya bahwa jika misalnya mereka sepakat untuk melawan Belanda, apakah mereka benar-benar sudah memperhitungkan dengan seksama kekuatan yang mereka miliki karena Belanda mempunyai senjata perang dan bom sedang mereka tidak mempunyai persenjataan sama sekali.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Bupati Sutikno tersebut, para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir, tidak ada yang berani angkat bicara, apalagi mau mengajukan usul, sampai akhirnya ditengah kesunyian yang mencekam peserta musyawarah ketika itu, ada seseorang yang mengangkat tangan guna memohon waktu untuk menyampaikan buah pikirannya, dan peserta tersebut adalah dari kalangan ulama, beliau bernama Kyai Raden Sumomihardho. Setelah beliau dipersilakan untuk menyampaikan pendapatnya Kyai Raden Sumomihardho, berkata : " Menurut hemat saya, sebaiknya Belanda kita lawan begitu mereka tiba di bumi Temanggung". Mendengar pendapat beliau yang sangat berani tersebut suasana pertemuan ketika itu menjadi tambah mencekam bagi sebagian besar peserta yang hadir karena mereka membayangkan sebuah resiko yang sangat berat pasti akan mereka tanggung jika mereka berani melawan penjajah yang memiliki tentara dengan persenjataan yang lengkap. Kyai Raden Sumomihardho dapat membaca suasana pertemuan yang semakin mencekam tersebut, tetapi beliau sedikitpun tidak berubah pikiran, tetapi malah sebaliknya beliau manambahkan : "Kita tidak rela diperbudak lagi oleh bangsa penjajah, dan adapun mengenai perkara hidup dan mati semuanya terjadi atas kehendak Allah". Beliau melanjutkan : "Masalah hidup dan mati itu semua adalah urusan Allah, dan kita memang tidak mempunyai persenjataan seperti yang dimiliki bangsa penjajah, tapi kita punya Allah". Dan mendengarkan alasan yang masuk akal yang disampaikan oleh Kyai Raden Sumomihardho, akhirnya semua ulama dan tokoh masyarakat yang hadir ketika itu menyetujui pendapat beliau. Setelah acara ditutup, para pemuda pejuang datang ke pondok pesantren beliau dan kepada para pemuda pejuang tersebut, Kyai Raden Sumomihardho memberikan mereka senjata berupa Bambu Runcing yang sudah diberi asma'. Bambu Runcing yang sudah diberi asma' oleh beliau tersebut memiliki beberapa kelebihan. Diantaranya : siapa saja yang memegang bambu runcing itu dia tidak memiliki rasa takut terhadap musuh (tentara penjajah), musuh yang melihat bambu runcing tersebut menjadi kehilangan akal, jika bambu runcing yang telah diberi asma' itu dipegang, ia akan mengeluarkan api. Dan jika ada laki-laki yang melangkahi bambu runcing tersebut, kelaminnya menjadi membesar, dan pernah suatu ketika di daerah Boyolali, bambu runcing tersebut dilempar ditumpukkan pring (bambu biasa), dan pring tersebut terbakar.
Selain memberikan bambu runcing yang sudah di asma', Kyai Raden Sumomihardho juga memberikan senjata berupa ketapel kepada para pemuda pejuang. Batu kerikil yang akan digunakan terlebih dahulu diberi asma' dan setiap batu kerikil yang telah diberi asma'. Jika batu tersebut dipakaikan diketapel dan digunakan untuk menyerang musuh, maka musuh yang terkena oleh batu kerikil itu akan mati. Senjata terakhir yang diberikan kepada pemuda pejuang adalah berupa sujen (sejenis tusuk sate). Setelah sujen tersebut diberi asma', maka jika sujen itu ditanam pihak musuh tidak akan bisa melewati daerah tersebut. Jika sujen itu dilangkahi tikus, tikus itu bisa mati. Kyai Raden Sumomihardho adalah teman seperjuangan dari Cokro Aminorto dan beliau juga masih keluarga dari Bupati Magelang dan merupakan keturunan Wali Songo.

BIOGRAFI IMAM AL GHOZALI

A. Masa Hidup Imam Al- Ghazali
1. Tempat Kelahiran Imam Al- Ghazali
Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan hujjatul Islam (argumentator islam) karena jasanya yang besar di dalam menjaga islam dari pengaruh ajaran bid’ah dan aliran rasionalisme yunani. Beliau lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasah yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia islam.[1]
Beliau dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang pengrajin wol sekaligus sebagai pedagang hasil tenunannya, dan taat beragama, mempunyai semangat keagamaan yang tinggi, seperti terlihat pada simpatiknya kepada ‘ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat.
Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya (imam al-Ghazali) dan saudarnya (Ahmad), ketika itu masih kecil dititipkan pada teman ayahnya, seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan bimbingan dan didikan.[2]
Meskipun dibesarkan dalam keadaan keluarga yang sederhana tidak menjadikan beliau merasa rendah atau malas, justru beliau semangat dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, dikemudian beliau menjelma menjadi seorang ‘ulama besar dan seorang sufi. Dan diperkirakan imam Ghazali hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang sufi sampai usia 15 tahun (450-456)[3]
2. Pendidikan dan Perjalanan Mencari Ilmu
Perjalanan imam Ghazali dalam memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya. Kepada ayahnya beliau belajar Al-qur’an dan dasar-dasar ilmu keagamaan ynag lain, di lanjutkan di Thus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Setelah beliau belajar pada teman ayahnya (seorang ahli tasawuf), ketika beliau tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, beliau mengajarkan mereka masuk ke sekolah untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan. Beliau mempelajari pokok islam (al-qur’an dan sunnah nabi).Diantara kitab-kitab hadist yang beliau pelajari, antara lain :
a. Shahih Bukhori, beliau belajar dari Abu Sahl Muhammad bin Abdullah Al Hafshi
b. Sunan Abi Daud, beliau belajar dari Al Hakim Abu Al Fath Al Hakimi
c. Maulid An Nabi, beliau belajar pada dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Khawani
d. Shahih Al Bukhari dan Shahih Al Muslim, beliau belajar dari Abu Al Fatyan ‘Umar Al Ru’asai.[4]
Begitu pula diantarnya bidang-bidang ilmu yang di kuasai imam al-Ghazli (ushul al din) ushul fiqh, mantiq, flsafat, dan tasawuf[5]
Santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu beliau untuk belajar fiqh pada imam Kharamain, beliau dalam belajar bersungguh-sungguh sampai mahir dalam madzhab, khilaf (perbedaan pendapat), perdebatan, mantik, membaca hikmah, dan falsafah, imam Kharamain menyikapinya sebagai lautan yang luas.[6]
Setelah imam kharamain wafat kemudian beliau pergi ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Beliau mengarang tentang madzhab kitab al-basith, al- wasith, al-wajiz, dan al- khulashoh. Dalam ushul fiqih beliau mengarang kitab al-mustasfa, kitab al- mankhul, bidayatul hidayah, al-ma’lud filkhilafiyah, syifaal alil fi bayani masa ilit dan kitab-kitab lain dalam berbagai fan.[7]
Antara tahun 465-470 H. imam Al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al- Radzaski di Thus, dan dari Abu Nasral Ismailli di Jurjan. Setelah imam al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama 3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf kekpada Yusuf Al Nassaj (w-487 H). pada tahun itu imam Al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq. Menurut Abdul Ghofur itu Ismail Al- Farisi, imam al-Ghozali menjadi pembahas paling pintar di zamanya. Imam Haramain merasa bangga dengan pretasi muridnya.
Walaupun kemashuran telah diraih imam al Ghazali beliau tetap setia terhadap gurunya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. sebelum al Juwani wafat, beliau memperkenalkan imam al Ghazali kepada Nidzham Al Mulk, perdana mentri sultan Saljuk Malik Syah, Nidzham adalah pendiri madrasah al nidzhamiyah. Di Naisabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Faldl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w.477 H/1084 M).[8]
Setelah gurunya wafat, al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenengkan ini, namanya semakin populer dan disegani karena keluadan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, imam al Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidzhamiyah, ini dijelaskan salam bukunya al mungkiz min dahalal. Selama megajar di madrasah dengan tekunnya imam al Ghozali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al Farabi, Ibn Sina Ibn miskawih dan Ikhwan Al Shafa. Penguasaanya terhadap filsafat terbukti dalam karyanya seperti al maqasid falsafah tuhaful al falasiyah.[9]
Pada tahun 488 H/1095 M, imam al Ghazali dilanda keraguan (skeptis) terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum teologi dan filsafat). Keraguan pekerjaanya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga beliau menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, imam al Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah nidzhamiyah, yang akhirnya beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus, selam kira-kira dua tahun imam al Ghazali di kota Damaskus beliau melakukan uzlah, riyadah, dan mujahadah. Kemudian beliau pihdah ke Bait al Maqdis Palestina untuk melakukan ibadah serupa. Sektelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarohi maqom Rosulullah Saw.[10]
Sepulang dari tanah suci, imam al Ghazali mengunjungi kota kelahirannya di Thus, disinilah beliau tetap berkhalwat dalam keadaan skeptis sampai berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah beliau menulis karyanya yang terkenal ” ihya’ ‘ulumuddin al-din” the revival of the religious ( menghidupkan kembali ilmu agama).[11]
Karena disebabkan desakan pada madrasah nidzhamiyah di Naisabur tetapi berselang selam dua tahun. Kemudian beliau madrasah bagi para fuqoha dan jawiyah atau khanaqoh untuk para mustafifah. Di kota inilah (Thus) beliau wafat pada tahun 505 H / 1 desember 1111 M.[12]
Abul Fajar al-Jauzi dalam kitabnya al asabat ‘inda amanat mengatakn, Ahmad saudaranya imam al Ghazali berkata pada waktu shubuh, Abu Hamid berwudhu dan melakukan sholat, kemudian beliau berkata : Ambillah kain kafan untukku kemudian ia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan diatas kedua matanya, beliau berkata ” Aku mendengar dan taat untuk menemui Al Malik kemudian menjulurkan kakinya dan menghadap kiblat. Imam al Ghazali yag bergelar hujjatul islam itu meninggal dunia menjelang matahari terbit di kota kelahirannya (Thus) pada hari senin 14 Jumadil Akir 505 H (1111 M). Imam al Ghazali dimakamkan di Zhahir al Tabiran, ibu kota Thus.[13]
B. Guru dan Panutan Imam Al Ghazali
Imam al Ghazali dalam perjalanan menuntut ilmunya mempunyai banyak guru, diantaranya guru-guru imam Al Ghazali sebagai berikut :
1. Abu Sahl Muhammad Ibn Abdullah Al Hafsi, beliau mengajar imam Al Ghozali dengan kitab shohih bukhori.
2. Abul Fath Al Hakimi At Thusi, beliau mengajar imam Al Ghozali dengan kitab sunan abi daud.
3. Abdullah Muhammad Bin Ahmad Al Khawari, beliau mengajar imam Ghazali dengan kitab maulid an nabi.
4. Abu Al Fatyan ‘Umar Al Ru’asi, beliau mengajar imam Al Ghazali dengan kitab shohih Bukhori dan shohih Muslim.[14]
Dengan demikian guru-guru imam Al Ghazali tidak hanya mengajar dalam bidang tasawuf saja, akan tetapi beliau juga mempunyai guru-guru dalam bidang lainnya, bahkan kebanyakan guru-guru beliau dalam bidang hadist.
C. Murid-Murid Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali mempunyai banyak murid, karena beliau mengajar di madrasah nidzhamiyah di Naisabur, diantara murid-murid beliau adalah :
1. Abu Thahir Ibrahim Ibn Muthahir Al- Syebbak Al Jurjani (w.513 H).
2. Abu Fath Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Burhan (474-518 H), semula beliau bermadzhab Hambali, kemudian setelah beliau belajar kepada imam Ghazali, beliau bermadzhab Syafi’i. Diantara karya-karya beliau al ausath, al wajiz, dan al wushul.
3. Abu Thalib, Abdul Karim Bin Ali Bin Abi Tholib Al Razi (w.522 H), beliau mampu menghafal kitab ihya’ ‘ulumuddin karya imam Ghazali. Disamping itu beliau juga mempelajari fiqh kepada imam Al Ghazali.
4. Abu Hasan Al Jamal Al Islam, Ali Bin Musalem Bin Muhammad Assalami (w.541 H). Karyanya ahkam al khanatsi.
5. Abu Mansur Said Bin Muhammad Umar (462-539 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali sehingga menjadi ‘ulama besar di Baghdad.
6. Abu Al Hasan Sa’ad Al Khaer Bin Muhammad Bin Sahl Al Anshari Al Maghribi Al Andalusi (w.541 H). beliau belajar fiqh pada imam Ghozali di Baghdad.
7. Abu Said Muhammad Bin Yahya Bin Mansur Al Naisabur (476-584 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali, diantara karya-karya beliau adalah al mukhit fi sarh al wasith fi masail, al khilaf.
8. Abu Abdullah Al Husain Bin Hasr Bin Muhammad (466-552 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali. Diantar karya-karya beliau adalah minhaj al tauhid dan tahrim al ghibah.[15]
Dengan demikian imam al ghozali memiliki banyak murid. Diantara murid–murid beliau kebanyakan belajar fiqh. Bahkan diantara murid- murid beliau menjadi ulama besar dan pandai mengarang kitab.
D. Karya-Karya Imam Al Ghazali
Imam Al Ghozali termasuk penulis yang tidak terbandingkan lagi, kalau karya imam Al Ghazali diperkirakan mencapai 300 kitab, diantaranya adalah :
1. Maqhasid al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafah.
2. Tahaful al falasifah (kekacauan pikiran para filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filusuf dengan keras.
3. Miyar al ‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu).
4. Ihya’ ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat.
5. Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.
6. Al-ma’arif al-aqliyah (pengetahuan yang nasional)
7. Miskyat al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.
8. Minhaj al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap tuhan).
9. Al iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam aqidah).
10. Ayyuha al walad.
11. Al musytasyfa
12. Ilham al –awwam an ‘ilmal kalam.
13. Mizan al amal.
14. Akhlak al abros wa annajah min al asyhar (akhlak orang-orang baik dan kesalamatan dari kejahatan).
15. Assrar ilmu addin (rahasia ilmu agama).
16. Al washit (yang pertengahan) .
17. Al wajiz (yang ringkas).
18. Az-zariyah ilaa’ makarim asy syahi’ah (jalan menuju syariat yang mulia)
19. Al hibr al masbuq fi nashihoh al mutuk (barang logam mulia uraian tentang nasehat kepada para raja).
20. Al mankhul minta’liqoh al ushul (pilihan yang tersaing dari noda-noda ushul fiqih).
21. Syifa al qolil fibayan alsyaban wa al mukhil wa masalik at ta’wil (obat orang dengki penjelasan tentang hal-hal samar serta cara-cara penglihatan).
22. Tarbiyatul aulad fi islam (pendidikan anak di dalam islam)
23. Tahzib al ushul (elaborasi terhadap ilmu ushul fiqiha).
24. Al ikhtishos fi al ‘itishod (kesederhanaan dalam beri’tiqod).
25. Yaaqut at ta’wil (permata ta’wil dalam menafsirkan al qur’an).[16]
BAB TAMBAHAN
KESETIAAN IMAM AL GHAZALI KEPADA GURUNYA.
Walupun kemashuran telah diraih imam al-ghazali beliau tetap setia terhadap gurunya dan tidak meninggalkannya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. sebelum al-Juwami wafat, beliau memperkenalkan imam al-Ghazali kepada Nidham Al Mulk, perdana mentri sulatan Saljuk Malik Syah, Nidham adalah pendiri madrasah al- nidzamiyah. Di Nashabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Fadl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w. 477 H/1084 M)[17]
Setelah gurunya wafat, Al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham Al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan para ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenangkan ini, namanya semakin populer dan desegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, imam al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidhzamiyah, ini dijelaskan dalam bukunya al mungkiz min al dahalal. Selama mengajar di madrasah dengan tekunnya imam al Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al Farabi, Ibn Sina Ibn Miskawih dan Ikhwan Al Shafa.penguasaanya terhadap filsafat terbukti dalam karyanya seperti Falsafah Tuhfatul Al Falasifah.[18]
Pada tahun 488 H / 1095 M, imam al Ghazali dilanda keraguan(ekeptis) trhadap ilmu-ilmu yang dipelajari(hukum teologi dan filsafat). Keraguan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehungga beliau menderita penyakit selam adu bulan

Sekilas Pandang Pondok Pesantren NURUL FALAH Surjo

Pondok Pesantren Nurul Falah adalah salah satu lembaga pendidikan sosial keagamaan yang berdiri sekitar tahun 2004. oleh syaikh Fuad Zain Ar Ru'yah Al Haj. berada di Desa Surjo Kec. Bawang. Kab. Batang. sebagai satu bentuk kepedulian pendiri atas kebutuhan pendidikan keagamaan yang makin merosot kala itu. tujuan dari Pondok Nurul Falah adalah menciptakan generasi yang beriman , berakhlaqul karimah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. lembaga ini semakain hari semakin menunjukkan komitmenya dalam bidang pendidikan keagamaan, salah satunya di buktikan dengan lahirnya jam'iyyah Dala'ilul Khoerot pada tahun itu pula, jam'iyyah Dala'ilul Khoerot adalah sarana kegiatan penunjang santri baik santri mukim atau santri yang berawsal dari masyarakat umum, dengan kegiatan bersholawat kepada beliau Nabi Muhammad SAW di harapkan jama'ah mampu meneladani kekasih allah yang agung. jam'iyyah Dala'ilul Khoerot adalah jam'iyyah yang Mu'tabar Sanadnya sampai beliau Al Amin Rosulillah SAW. pada tahun berikutnya Pondok Nurul Falah juga terlibat aktif dalam pengembangan jamiyyah Ahlit Thoriqoh Al Mu'tabaroh An Nahdliyah, dengan di ikut sertakanya santri/alumni Pondok Nurul Falah di Jama'ah Ahlit Thoriqoh As Syadziliyah berpusat di parakan Temanggung mengambil Bai'at pada Syaikhina  R.MUHAIMINAN GHUNARDLO. itu semua di wujudkan sebagai sarana penekanan spiritual. karena kami sadar bahwa tingginya derajat keduniawiahan tidak sebanding dengan derajat ukhrowiyah (akhirat).guna menunjang aktifitas santri/Alumni. Pondok Nurul Falah melalui para alumni yang komitmen  dan loyal mendirikan IKSAN (Ikatan Santri Alumni Pondok Pesantren Nurul Falah) dengan agenda kegiatan rutin yaitu :
  • Senin Pon Ba'da Dzuhur (selapanan/Rutin aurot thoriqoh Syadziliyah)
  • Senin Pahing Ba'da Dzuhur(selapanan/Rutin pembacaan aurot Dalailul Khoerot)
  • Kamis Ba'da Dzuhur (pertemuan Alumni dengan pembacaan Kitab AL HIKAM dan  MAU"IDZOTUL MUKMININ yang di pandu oleh Pengasuh)
  • kegiatan REUNI per tahun.
  • Keterlibatan /keikutsertaan ALUMNI sebagai tenaga pengajar. sebagai bentuk kaderisasi.
  • ZIARAH WALISONGO.
  • dll
adapun kegiatan/program pendidikan di Pondok Pesantren NURUL FALAH adalah sebagai berikut :
  • TPQ NURUL FALAH
  • Madrasah Salafiyah.
                          - IBTIDA'
                          - TSANAWIYAH
                          - ALIYAH
                          - TAKHASUS (AL QUR'AN dan KITAB)
  • Sorogan dan Bandungan.
  • Robithoh (IKSAN )
  • Riyadloh.
  • Dll
  • Panti Asuhan Yatim Piatu (dalam Proses)